Menurut Tulus, negara bisa dianggap gagal jika mencoba memuaskan semua orang. Oleh karena itu, penting menjaga agregasi kepentingan publik dalam pengaturan konten siaran.
“Masyarakat yang tidak setuju dengan pengaturan konten isi siaran diminta boleh menyuarakan pendapatnya ke DPR RI sebagai usulan pembentuk undang-undang,” ungkap Tulus.
Tulus juga menekankan kepentingan publik harus diutamakan dalam proses tersebut, bukan hanya dari satu kelompok masyarakat saja.
Di saat yang sama, pembicara kedua kedua, Nugroho F Yudho, Dewan Pembina AJV, menyoal tidak munculnya lagi kata Media Baru dalam draft Undang Nomor 32 Tahun 2002 dan berganti dengan kata platform digital.
Baca Juga: KPI Beri Teguran Tertulis Kepada Sinetron Buku Harian Seorang Istri
Sementara itu dalam pengamatan Nugroho, sosial media adalah sebagai pelantar digital untuk berkomunikasi dan berinteraksi oleh para penggunanya dengan melakukan interaksi sosial lewat virtual atau yang disebut platform digital.
“Jadi sosial media seperti Facebook, X, Instagram harus dilakukan di platform digital. Tetapi yang namanya platform digital belum tentu merupakan sosial media,” ujarnya sambil menyebut Tokopedia, Blue Bird, sebagai platform digital yang dipergunakan untuk keperluan keperluan berniaga.
Nugroho menyebut, yang namanya sosial media memiliki karakter berbeda-beda. Dalam pengamatannnya belakangan ini, di seluruh dunia muncul pro kontra terhadap pembatasan konten di sosial media
Dalam pandangan Nugroho, hal ini dipicu sejak tahun 2016, di mana banyak orang di dunia sadar tentang perlunya sosial media dibatasi.
Terutama di Inggris. Pada 2016 itu ada yang kasus Brexit, yakni saat Inggris keluar dari Uni Eropa lewat referendum, dan di tahun yang sama di Amerika, Hillary Clinton dikalahkan Donald Trump.